Salam pertemuan,,, semuga sentiasa dalam situasi iman yg kuat.
Terpanggil semula utk menukilkan diblog ini. Agar senang dirujuk nanti.
Hadis-hadis yg lemah ttg ziarah kubur seakan menjadi pegangan masyarakat kita. Ramai yg bertanya tentang hukum ziarah kubur, ziarah kubur pd hari khamis dan jumaat dan debagainya. Mereka selama ni kbyknnya hy bertaqlid kpd generasi terdahulu tanpa mengkaji dan meneliti dalil2 mengenainya.
Ada yg ragu2 dan merasa keliru lantas bertanya mengenainya. Maka disini saya copy pastekan satu penjelasan mengenai isu ini melalui penelitian terhadap hadis2 yg selama ini menjadi sandaran bg kbnykkn orang.
Silakan membaca dgn sabar dan tenang....
_______________
HADITS LEMAH DAN PALSU TENTANG KEUTAMAAN ZIARAH KUBUR ORANG TUA DAN KERABAT PADA HARI JUMAT
Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
Ziarah kubur merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam. Karena ia mempunyai hikmah, keutamaan dan manfaat bagi orang yang berziarah maupun orang mati yang diziarahi. Di antara hikmah disyariatkannya ziarah kubur sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits yang shahîh ialah:
1. Untuk mengucapkan salam dan mendoakan kebaikan serta memohon ampunan kepada Allâh k bagi orang-orang mati dari kaum Muslimin, agar mereka dibebaskan dari siksa kubur, dan diberi nikmat di dalam kubur.
2. Untuk mengingat kematian dan kehidupan akhirat, sehingga tidak terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia yang fana.
3. Dalam rangka melunakkan hati yang keras dan memadamkan kesombongan diri, dan lain sebagainya.
Manfaat dan hikmah tersebut dapat diperoleh oleh seorang Muslim kapan saja ia berkeinginan melakukan ziarah kubur tanpa mengkhususkan hari dan kesempatan tertentu, dan di kuburan siapa saja dari kubur kaum muslimin. Asalkan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap tuntunan Islam dalam berziarah kubur, seperti melakukan safar (wisata ziarah) ke pekuburan yang jauh dari tempat tinggalnya, atau melakukan ritual-ritual seperti membaca al-Qur`ân, sholat, dzikir berjama’ah dan selainnya dalam rangka mencari berkah.
Meskipun sudah sedemikian jelas dan sempurna tuntunan agama Islam dalam ziarah kubur, namun masih ada sebagian kaum Muslimin yang berbuat kesalahan dan pelanggaran terhadap tuntunan tersebut. Ini tiada lain disebabkan oleh kebodohan (ketidaktahuan) mereka tentang ajaranagama Islam yang benar dan murni, dan banyaknya para juru dakwah yang mengajarkan kesesatan dan kebatilan kepada pengikut dan jama’ahnya sehingga kebanyakan mereka tidak sadar bahwa ziarah kubur dan amal ibadah yang mereka lakukan itu sangat bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara hadits lemah dan palsu yang tersebar di tengah kaum Muslimin ialah hadits yang menjelaskan keutamaan menziarahi kuburan orang tua atau kerabat pada hari dan malam Jumat yang katanya memiliki keutamaan-keutamaan, yaitu :
1. Berziarah ke kuburan orang tua pada hari Jumat lalu membaca surat Yasin di sisinya akan menghapuskan dosa-dosa.
2. Siapa yang melakukannya akan dianggap sebagai anak yang berbakti pada kedua orang tuanya.
3. Siapa yang banyak menziarahi kuburan kedua orang tuanya atau kerabatnya hingga meninggal dunia, maka kuburannya akan diziarahi oleh para malaikat.
4. Siapa yang melakukannya akan memperoleh pahala umrah atau haji mabrur.
Berikut ini akan penulis sebutkan hadits-haditsnya beserta derajatnya dan perkataan para ulama hadits yang menjelaskan sisi kelemahan dan kepalsuannya.
Berikut ini akan penulis sebutkan hadits-haditsnya beserta derajatnya dan perkataan para ulama hadits yang menjelaskan sisi kelemahan dan kepalsuannya.
HADITS PERTAMA:
قَالَ أَبُو أَحْمَدَ بْنُ عَدِيٍّ رَحِمَهُ اللهُ : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الضَّحَّاكِ بْنِ عَمْرِو بْنِ أََبِي عَاصِمِ ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ الأَصْبَهَانِيُّ ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ زِيَادَ ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ الطَّائِفِيُّ ، عَنْ هِشَامٍ بن عُرْوَة ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ ، قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَرَأَ يس غُفِرَ لَهُ .”
Abu Ahmad Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin adh-Dhahhâk bin ‘Amr bin Abi ‘Ashim, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Yazid bin Khâlid al-Ashbahâni, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyâd, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaim ath-Thâifi, dari Hisyâm bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berziarah ke kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya pada hari jum’at, lalu ia membaca surat Yasin maka (dosa-dosanya) akan diampuni (oleh Allâh, pent).”
“Barangsiapa yang berziarah ke kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya pada hari jum’at, lalu ia membaca surat Yasin maka (dosa-dosanya) akan diampuni (oleh Allâh, pent).”
‘Hadits’ ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil Fî Dhu’afâ ar-Rijâl V/151.
HADITS KEDUA:
قَالَ أَبُو الشَّيْخِ الأَصْبَهَانِيُّ : حَدَّثَنَـا أَبُو عَلِيِّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ، قال : ثنا أَبُو مَسْعُودٍ يَزِيدُ بْنُ خَالِدٍ ، قال : ثنا عَمْرُو بْنُ زِيَادٍ الْبَقَالَيُّ الْخُرَاسَانِيُّ بِجُنْدِيسَابُورَ ، قال : ثنـا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّـهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : ” مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ أَوْ أَحَدِهِمَا ، فَقَرَأَ عِنْدَهُمَا أَوْ عِنْدَهُ : يس ، غُفِرَ لَهُ بِعَدَدِ ذَلِكَ آيَةً أَوْ حَرْفًا ”
Abu asy-Syaikh al-Ashbahâni rahimahullah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ali bin Ibrâhîm, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Abu Mas’ûd, Yazîd bin Khâlid, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami ‘Amr bin Ziyâd al-Baqqâli al-Khurasâni di Jundisabur, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sulaimân, dari Hisyâm bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, dari Abu Bakar, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya pada setiap hari Jum’at, lalu ia membaca surat Yasin di sisi (kuburan) keduanya atau salah satunya, niscaya (dosa-dosanya) diampuni sebanyak bilangan ayat atau huruf (yang dibacanya, pent).”
‘Hadits’ ini diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh al-Ashbahâni dalam Thabaqât al-Muhadditsîn III/125 no.751).
DERAJAT HADITS PERTAMA DAN KEDUA:
Hadits-hadits tersebut di atas derajatnya مَوْضُوْعٌ (maudhu’, PALSU). Karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama ‘Amr bin Ziyâd. Dia seorang perawi yang pendusta dan pemalsu hadits.
Hadits-hadits tersebut di atas derajatnya مَوْضُوْعٌ (maudhu’, PALSU). Karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama ‘Amr bin Ziyâd. Dia seorang perawi yang pendusta dan pemalsu hadits.
Imam Abu Ahmad Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata, “Hadits dengan sanad ini derajatnya BATIL, TIDAK ADA ASAL-USULNYA. Dan ‘Amr bin Ziyâd meriwayatkan beberapa hadits selain hadits ini. Di antaranya ada hadits yang ia curi dari para perawi yang terpercaya, dan ada pula hadits-hadits palsu. Dan dialah orang yang tertuduh memalsukannya.” (Lihat al-Kâmil Fî Dhu’afâ ar-Rijâl V/151).
Imam ad-Dâruquthni rahimahullah berkata, “Dia memalsukan hadits.” (Lihat Mizân al-I’tidâl karya adz-Dzahabi III/261).
Imam Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah berkata, ”Dia seorang pendusta.” (Lihat adh-Dhu’âfa’ karya al-‘Uqaili III/274).
HADITS KETIGA:
قاَلَ الطَّبْرَانِيُّ رَحِمَهُ اللهُ : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ النُّعْمَانِ بْنِ شِبْلٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبِي ، قَالَ : حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَمِّ أَبِي ، عَنْ يَحْيَى بْنِ الْعَلاءِ الرَّازِيِّ ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ ، عَنْ مُجَاهِدٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ ، وَكُتِبَ بَرًّا ”
Imam ath-Thabrâni rahimahullah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin an-Nu’mân bin asy-Syibl, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin an-Nu’mân bin ‘Abdurrahmân (paman ayahku), dari Yahya bin al-‘Alâ’ ar-Râzi, dari ‘Abdul Karîm Abu Umayyah, dari Mujâhid, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya akan diampuni baginya dan dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).”
Imam ath-Thabrâni rahimahullah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin an-Nu’mân bin asy-Syibl, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin an-Nu’mân bin ‘Abdurrahmân (paman ayahku), dari Yahya bin al-‘Alâ’ ar-Râzi, dari ‘Abdul Karîm Abu Umayyah, dari Mujâhid, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang menziarahi kuburan kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya setiap hari Jum’at, niscaya akan diampuni baginya dan dicatat sebagai bakti (kepada keduanya).”
‘Hadits’ ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni di dalam al-Mu’jam al-Ausath VI/175 no.6114, dan al-Mu’jam ash-Shaghîr II/160 no.955. dan diriwayatkan pula oleh as-Suyûthi dalam al-La’âli’ al-Mashnû’ah fî al-Ahâdîts al-Maudhû’ah II/440 no.2526, dan lainnya.
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya مَوْضُوْعٌ (maudhû’, PALSU), sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh al-Albâni dalam as-Silsilah adh-Dha’îfah I/125 no.49. Hal ini dikarenakan di dalam sanadnya terdapat empat orang perawi hadits yang bermasalah, yaitu:
Hadits ini derajatnya مَوْضُوْعٌ (maudhû’, PALSU), sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh al-Albâni dalam as-Silsilah adh-Dha’îfah I/125 no.49. Hal ini dikarenakan di dalam sanadnya terdapat empat orang perawi hadits yang bermasalah, yaitu:
1. Muhammad bin Muhammad bin an-Nu’mân.
Ia seorang perawi yang ditinggalkan riwayat haditsnya dan tertuduh sebagai pemalsu hadits.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya, “Ad-Dâruquthni telah mencela dan menuduhnya sebagai pemalsu hadits.” (Lihat Mîzân al-I’tidâl IV/26). al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dia seorang perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayat haditsnya).” (Lihat Taqrîb at-Tahdzîb I/505).
Ia seorang perawi yang ditinggalkan riwayat haditsnya dan tertuduh sebagai pemalsu hadits.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya, “Ad-Dâruquthni telah mencela dan menuduhnya sebagai pemalsu hadits.” (Lihat Mîzân al-I’tidâl IV/26). al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dia seorang perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayat haditsnya).” (Lihat Taqrîb at-Tahdzîb I/505).
2. Muhammad bin an-Nu’mân.
Seorang perawi yang tidak dikenal jati diri dan kredibilitasnya.
Seorang perawi yang tidak dikenal jati diri dan kredibilitasnya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata tentangnya, “Ia seorang perawi yang majhûl (tidak dikenal jati diri dan kredibilitasnya).” (Lihat Mîzân al-I’tidâl IV/56). Imam al-‘Uqaili rahimahullah berkata, “Muhammad bin an-Nu’mân seorang perawi yang majhûl (tidak dikenal jati diri dan kredibilitasnya).” (Lihat adh-Dhu’afâ’ IV/146).
3. Yahya bin al-‘Alâ` ar-Râzi (al-Bajali)
Seorang perawi yang sangat lemah karena tertuduh memalsukan hadits dan riwayatnya tidak dapat diterima dan dijadikan hujjah.
Seorang perawi yang sangat lemah karena tertuduh memalsukan hadits dan riwayatnya tidak dapat diterima dan dijadikan hujjah.
Imam al-‘Uqaili rahimahullah berkata tentangnya, “Yahya adalah seorang perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayatnya).” (Lihat adh-Dhu’afâ` IV/146). Imam Yahya bin Ma’în rahimahullah berkata, “Yahya bin al-‘Alâ` bukan seorang perawi hadits yang tsiqah (terpercaya).” (Lihat adh-Dhu’afâ` al-‘Uqaili IV/437).
Sementara itu, Imam Abu Hâtim ar-Râzi rahimahullah berkata, “Dia bukan seorang perawi hadits yang kuat (hafalannya, pent).” Imam ad-Dâruquthni berkata, “Dia seorang perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayat haditsnya).” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Dia pernah memalsukan hadits.” (Lihat semua komentar ini dalam Mîzân al-I’tidâl karya Imam adz-Dzahabi IV/397).
Imam Ibnu Hibbân rahimahullah berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan (hadits)nya.” (al-Majruhîn III/115).
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Dia seorang perawi yang tertuduh memalsukan hadits.” (Lihat Taqrîb at-Tahdzîb I/595).
4. ‘Abdul Karîm Abu Umayyah
Seorang perawi yang dha’îf (lemah).
Seorang perawi yang dha’îf (lemah).
Imam Ibnu Hibbân rahimahullah berkata tentangnya: “Dia seorang perawi yang sering lupa dan banyak kesalahan yang fatal dalam meriwayatkan hadits.” (al-Majruhîn II/145).
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “’Abdul Karîm Abu Umayyah tidak ada apa-apanya, dia menyerupai perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayatnya).” (al-Jarhu wa at-Ta’dîl karya Ibnu Abu Hatim VI/60).
Imam Yahya bin Ma’în rahimahullah berkata, “Abdul Karîm Abu Umayyah tidak ada apa-apanya.” Imam Ayyûb as-Sakhtiyâni rahimahullah berkata, “Dia bukan seorang perawi yang tsiqah (terpercaya).” (al-Majruhîn II/145).
HADITS KEEMPAT:
قَالَ أَبُو أَحْمَدَ بْنُ عَدِيٍّ رَحِمَهُ اللهُ : ثنا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصٍ السَّعْدِيُّ ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الْوَزْدُولِيُّ ، ثنا خَاقَانُ بْنُ الأَهْتَمِ السَّعْدِيُّ ، ثنا أَبُو مُقَاتِلٍ السَّمَرْقَنْدِيُّ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : ” مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبِيهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ عَمَّتِهِ أَوْ خَالَتِهِ أَوْ أَحَدُ قَرَابَاتِهِ كَانَتْ لَهُ حَجَّةٌ مَبْرُورَةٌ ، وَمَنْ كَانَ زَائِرًا لَهُمَا حَتَّى يَمُوتَ زَارَتِ الْمَلائِكَةُ قَبْرَهُ ” .
Abu Ahmad Ibnu ‘Adi rahimahullah berkata, “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hafsh as-Sa’di, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Ibrâhîm bin Musa al-Wazduli’, ia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Khâqân bin al-Ahtam as-Sa’di’, ia berkata; ‘Telah menceritakan kepada kami Abu Muqâtil as-Samarqandi, dari ‘Ubaidillâh, dari Nâfi’, dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, ‘ Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa menziarahi kubur ayahnya atau ibunya, atau saudara perempuan ayah atau ibunya (bibinya), atau salah seorang kerabatnya, maka ia akan memperoleh pahala haji mabrur. Dan barangsiapa menziarahi kubur kedua orang tuanya hingga ia meninggal dunia, niscaya para malaikat akan menziarahi kuburannya.”
‘Hadits’ ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kâmil fî Dhu’afâ ar-Rijâl II/393 no.2260, Ibnul Jauzi dalam kitab al-Maudhû’ât III/240 no.1714, dan as-Suyûthi dalam al-La’âli’ al-Mashnû’ah fî al-Ahâdîts al-Maudhî’ah II/440 no.2527, dan lainnya.
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya ضَعِيْفٌ جِدًا (dha’îf jiddan, SANGAT LEMAH), karena pada sanadnya ada seorang perawi bernama Abu Muqâtil as-Samarqandi (Hafsh bin Salm). Dia seorang perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayat haditsnya).
Hadits ini derajatnya ضَعِيْفٌ جِدًا (dha’îf jiddan, SANGAT LEMAH), karena pada sanadnya ada seorang perawi bernama Abu Muqâtil as-Samarqandi (Hafsh bin Salm). Dia seorang perawi yang matrûk (ditinggalkan riwayat haditsnya).
Imam Ibnu Hibbân rahimahullah berkata tentangnya, “Abu Muqâtil as-Samarqandi, namanya Hafsh bin Salm, ia seorang yang rajin ibadah, akan tetapi meriwayatkan hadits-hadits mungkar yang mana (ulama hadits) siapa pun yang mencatat hadits dapat mengetahui bahwa hadits-hadits yang diriwayatkannya tidak mempunyai dasar yang dapat dijadikan rujukan.”
Imam ‘Abdurrahmân bin Mahdi rahimahullah berkata, “Tidak boleh meriwayatkan hadits darinya.” (Lihat al-Majruhîn I/256)
Imam adz-Dzahabi berkata, “Qutaibah menganggapnya sebagai perawi hadits yang sangat lemah, dan (Abdurrahman) bin Mahdi mendustakannya.” (Lihat Mîzân al-I’tidâl I/557)
Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Waki’ (bin al-Jarrâh al-Kûfi, pent) mendustakannya, dan as-Sulaimâni mengatakan, bahwa dia termasuk dalam barisan orang yang memalsukan hadits.” (Lihat Tahdzîb At-Tahdzîb II/342). Wallâhu a’lam.
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita semua ke jalan yang benar dan diridhai-Nya, dan memberikan kepada kita taufiq dan kemudahan untuk tetap istiqomah dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran-Nya yang bersumber dari al-Qur`ân dan Hadits yang shahîh hingga maut menjemput kita. Semoga artikel ini menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]